Kamis, 26 April 2012

Sebuah Kampung di Kaki Gunung
 
Kampung Citalahab Sentral yang berada di tengah kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.
Kampung ini terpencil di antara hutan, gunung, dan bentangan perkebunan teh. Penduduknya hanya 60 orang. Mereka hidup secara swadaya, berumur panjang, dan awet muda. Satu kebutuhan pokok yang mereka rindukan: sekolah.
Azan magrib sudah mengumandang ketika atap-atap rumah kampung Citalahab Sentral tertangkap pandangan mata. Kampung yang berada di tengah-tengah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNHS), Jawa Barat, ini dicapai setelah hampir tiga jam berkendara di jalanan berlumpur dan berbatu, melewati hutan dan melipir hektaran kebun teh.
Senyap. Suara jangkrik riuh bersahutan. Lamat-lamat terdengar gemuruh air sungai di kejauhan. Dari sebuah teras rumah, seorang perempuan muda dan anak balita menyambut ramah. Raut mukanya seperti mengabarkan, usianya sekitar 20-an tahun. Nani, nama perempuan itu, kemudian mempertemukan kami dengan suaminya.
Seperti halnya semua pemilik rumah di kampung itu, Nani juga menyewakan kamar-kamar di rumahnya. Secara berkala, para peneliti dari dalam dan luar negeri menyewa kamar mereka dalam hitungan minggu atau bulan.
Kamar-kamar itu berdinding kayu dengan perabotan sederhana. Hanya ada sebuah tempat tidur dengan kasur dan bantal lusuh, serta selembar selimut. Ruang tamu nyaris tak berperabot. Lantai kayu dilapisi karpet untuk menahan angin dingin yang menyelusup melalui celah-celahnya. Namun, embusan angin malam itu kelewat kencang, sampai-sampai karpet pun terangkat.
Malam semakin larut, satu per satu lampu di rumah-rumah yang letaknya berdekatan itu dinyalakan, berkelap-kelip tak ubahnya kelompok kunang-kunang di kegelapan malam. ”Kampung ini baru resmi dialiri listrik sekitar empat tahun lalu. Tetapi, sebetulnya sejak tahun 1999, kami sudah menikmati listrik dengan turbin air buatan sendiri,” kata Ade, adik Nani, yang sehari-hari menjadi pemandu TNHS.
Kebutuhan air warga diambil langsung dari mata air di Gunung Kendeng melalui pipa-pipa buatan sendiri. Begitu derasnya aliran yang masuk ke bak-bak tampungan membuat air bening kebiruan itu melimpah ruah terbuang ke parit-parit di sekeliling. ”Tolong jangan ditutup kerannya karena nanti pipa-pipanya bisa hancur,” kata Ade melihat gelagat tangan kami yang secara refleks ingin menutup keran karena tak tahan mendengar limpahan air terbuang.
”Air dari sini dialirkan kembali ke balong-balong ikan, ke taman-taman, dan akhirnya ke sungai,” ujar Ade yang usianya 33 tahun, tetapi wajahnya semuda anak SMA. Demikian juga Nani yang sudah mendekati usia kepala empat, wajahnya masih kencang seperti remaja.
Rupanya awet muda dan panjang umur bukan hal aneh di kampung ini. ”Nenek saya usianya sudah lebih dari 100 tahun, beliau masih suka jalan-jalan sendiri. Ibu saya usianya sudah 70-an, tetapi setiap hari masih bisa jalan kaki 1 kilometer ke desa tetangga,” ujar Ade.
Hujan makin menderas, angin menderu-deru. Batang-batang pohon di halaman rumah bergoyang keras, kadang rantingnya menerpa dinding rumah, menimbulkan suara berderik. Awan gelap tanpa bintang. Dingin semakin menusuk badan.
Permai
Subuh baru saja beranjak, tetapi celoteh ramai anak-anak sudah terdengar dari balik jendela. Dengan balutan jas hujan dan sepatu bot karet, anak-anak ini ”siap tempur” menuju sekolah. Jarak kampung ini ke sekolah dasar terdekat sekitar 3 kilometer. Kaki-kaki kecil itu harus melewati jalanan berbatu dan menanjak sekitar satu jam perjalanan.
Dari ketinggian, barulah terlihat betapa permainya kampung yang dikelilingi deretan gunung ini. Dari arah barat berjajar Gunung Endut, Gunung Halimun, Gunung Sanggabuana (Kendeng), dan Gunung Talaga. Dari arah timur terlihat Gunung Salak, Gede, dan Pangrango.
Di ”beranda” belakang terhampar sawah hijau yang berundak-undak mengikuti kontur Sungai Cikadang yang membelah kampung, dan kemudian berangsur menyatu dengan kepekatan hutan hujan tropis yang masih perawan. Di halaman depan, sejauh mata memandang yang terlihat adalah bentangan kebun teh dengan pohon-pohonnya yang rapat. Perkebunan teh peninggalan masa kolonial Belanda itu luasnya hampir 1.000 hektar.
Mengitari kampung ini bisa dengan melalui hutan yang jalan masuknya ada di belakang kampung, dan kembali melalui jalan setapak perkebunan teh. Waktu yang dibutuhkan sekitar 3 jam dengan berjalan kaki santai. Sungguh perjalanan pagi yang menenangkan. Bersentuhan dengan kabut tipis, menyaksikan embun yang masih menempel di daun-daun, menghirup dalam-dalam oksigen murni yang terkumpul di kaki gunung.
Di tengah rintik hujan, para perempuan pemetik teh yang berasal dari berbagai kampung di Desa Mulasari mengumpulkan karung-karung berisi daun teh di pinggir jalan. Mereka menanti datangnya truk pengangkut. Icih, perempuan berusia lima puluhan tahun, mengibas-ngibaskan kainnya yang basah dan penuh percikan lumpur. Perempuan ini sudah bekerja di perkebunan ini lebih dari 30 tahun sebagai pemetik teh. ”Anak saya sekarang juga kerja di perkebunan ini, sama dengan saya,” tuturnya dalam bahasa Sunda.
Namun, kehidupan Icih sepertinya tidak beranjak banyak. ”Dulu, upah saya bisa mencukupi untuk hidup sebulan, sekarang makin sulit,” katanya sambil membersihkan jari-jari tangannya di parit.
Icih bekerja sejak pukul 06.00 sampai pukul 13.00. Jika sedang beruntung mendapatkan pucuk-pucuk teh yang muda dan segar, ia bisa mengumpulkan upah sampai Rp 250.000 sebulan. Tapi di saat sulit—kala daun-daun teh yang dikumpulkannya tidak memenuhi standar pabrik—ia pernah hanya memperoleh Rp 90.000 per bulan. ”Sekarang hidup makin susah, apa-apa mahal,” kata Icih.
Butuh sekolah
Desa nan permai ini menyimpan banyak cerita tentang pergulatan keras warganya. Ade, misalnya, bercerita bagaimana ia harus berlapang dada menamatkan pendidikannya hanya sampai bangku SMP karena pada tahun 1990-an ia harus ke Bogor bila ingin melanjutkan sekolah ke bangku SMA. ”Untuk bersekolah ke SMP pun waktu itu saya harus jalan kaki setengah hari, tapi saya lakoni. Kalau ingin meneruskan ke SMA orangtua saya tak mampu,” kata Ade.
Hampir dua puluh tahun kemudian, kejadian serupa masih menimpa keponakannya, Yanti. Tahun lalu, Yanti lulus dari SMP terbuka, tetapi ia menjadi satu-satunya anak di sekolah itu yang tidak melanjutkan ke SMA karena orangtuanya tak mampu.
”Anak saya sampai menangis terus ingin sekolah. Tapi biaya dari mana? SMA letaknya jauh dari sini. Kalau mau melanjutkan ke SMA harus kos dan biayanya paling sedikit Rp 500.000 per bulan. Sementara suami saya gajinya hanya Rp 1 juta, itu pun kadang tidak utuh karena sudah dipotong untuk bayar utang. Jadi saya paksa anak saya untuk bekerja,” kata Yayat, sang ibu.
Di Kampung Citalahab Sentral yang penduduknya hanya 18 keluarga itu, satu sama lain saling berkerabat. Sejarah mereka sudah melintasi empat generasi. Warganya mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan upaya mandiri. Beras dihasilkan dari sawah garapan sendiri, ikan diambil dari balong, sayuran dipetik dari kebun di belakang rumah. Penghasilan tambahan diperoleh dari penyewaan kamar dan bekerja di kebun teh.
Namun, untuk soal yang satu itu—pendidikan formal, mereka memang bergantung pada pemerintah. Dan setelah hampir 67 tahun Indonesia merdeka, mereka masih tetap menunggu kehadiran sekolah setingkat SMA di desanya....